
Invalid Date
Dilihat 375 kali

Gelombang penolakan terhadap rencana penggunaan Dana Desa sebagai jaminan pinjaman bagi Koperasi Desa Merah Putih semakin menguat. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI pada Rabu (5/11) bersama sejumlah pemangku kepentingan, seperti APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), organisasi Desa Bersatu, serta pakar pemerintahan desa Sutoro Eko, suara penolakan itu bergema dengan satu pesan utama: desa harus berdaulat dan dana desa tidak boleh dijadikan beban utang.
Wakil Ketua BULD DPD RI, Marthin Billa, menegaskan bahwa DPD RI berkomitmen memperjuangkan arah baru tata kelola pemerintahan desa yang benar-benar berpihak pada masyarakat. Ia menilai desa harus menjadi kekuatan dari bawah, bukan sekadar pelaksana kebijakan administratif.
“Desa harus menjadi kekuatan dari bawah, bukan objek administrasi. Regulasi yang berpihak dan terukur adalah kunci kemandirian desa,” ujarnya.
DPD RI, melalui BULD, menilai bahwa banyak kebijakan terkait desa masih belum harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. Karena itu, BULD mendorong penyelarasan regulasi yang mampu menegaskan otonomi desa dalam pengelolaan Dana Desa dan perencanaan pembangunan lokal.
Sementara itu, Ketua Umum APDESI, Surta Wijaya, secara lantang menolak kebijakan yang membuka peluang penggunaan Dana Desa sebagai jaminan koperasi. Ia menegaskan bahwa desa membutuhkan ruang gerak lebih besar untuk menentukan prioritas pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat.
“Kami mendukung pengembangan koperasi desa, tetapi bukan dengan menjadikan Dana Desa sebagai jaminan pinjaman. Dana Desa harus dikelola secara mandiri untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.
Surta juga mengusulkan agar 70 persen Dana Desa dikelola langsung oleh pemerintah desa, sementara sisanya bisa diatur oleh pemerintah pusat. Ia menilai, selama ini banyak aturan yang justru mempersempit ruang desa dalam menentukan kebijakan pembangunan.
Dukungan terhadap sikap APDESI datang dari berbagai anggota DPD RI. Senator asal Jawa Timur, Kondang Kusumaning Ayu, menilai kebijakan menjadikan Dana Desa sebagai jaminan koperasi sangat berisiko.
“Dana desa yang terbatas jangan sampai menjadi jaminan jika koperasi Merah Putih gagal bayar kepada Himbara. Ini hanya akan menambah beban desa,” ujarnya.
Penadapat serupa disampaikan oleh Ketua Umum DPP Desa Bersatu, Muhammad Asri Anas, yang menegaskan bahwa desa tidak boleh dijadikan “penyangga” risiko program nasional.
"Dana Desa tidak boleh dijadikan beban tambahan. Desa harus diberi ruang berinovasi membangun desanya serta menentukan arah prioritasnya tanpa intervensi," tuturnya.
Begitupun tanggapan kepala Desa Bulu Bonggu, yang juga sebagai Sekretaris DPC APDESI Pasangkayu sekaligus Plt Sekretaris DPD APDESI Sulawesi Barat menyatakan bahwa
"Semua kepala desa keberatan dengan dana desa sebagai jaminan utang ke bank apabila jika Kopdes Merah Putih gagal bayar, dan Pasti kami nolak, kalau dana desa jadi jaminan, dampaknya banyak lembaga desa yang digaji dari dana desa akan diberhentikan.”
Selain penolakan, RDPU juga menghasilkan sejumlah masukan konstruktif. Senator asal Papua Barat Daya, Agustinus Kambuaya, mengusulkan adanya tambahan alokasi 5 persen anggaran langsung ke Dana Desa agar tidak sekadar tersimpan di bank-bank Himbara. Ia menegaskan, desa memerlukan akses langsung terhadap anggaran tanpa birokrasi panjang.
Senator Jakarta, Fahira Idris, menyoroti pentingnya dukungan fiskal khusus bagi pemerintah kabupaten agar dapat membina desa secara mandiri.
“Kami akan mendorong kolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memperluas kewenangan dan memperkuat harmonisasi regulasi desa,” katanya.
Pakar pemerintahan desa, Sutoro Eko, menilai persoalan utama kebijakan desa bukan hanya soal manajemen keuangan, tetapi soal paradigma pembangunan.
“Kementerian Desa dan Kementerian Koperasi perlu menempatkan pemberdayaan desa sebagai substansi utama, bukan sekadar aspek administratif,” ujarnya.
Sementara itu, Sarman Simanjorang, Direktur Eksekutif APKASI, meminta DPD RI terus memonitor regulasi yang menjadi dasar penyusunan Perda tentang pemerintahan desa.
“Kami berharap ada kejelasan regulasi agar kabupaten bisa bergerak cepat menyesuaikan kebijakan di daerah,” tegasnya.
Menutup RDPU, Ketua BULD DPD RI, Stefanus B.A.N. Liow, menegaskan bahwa seluruh masukan dari peserta akan dirumuskan menjadi rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD RI.
“Kemandirian desa adalah fondasi kedaulatan bangsa. Kami akan memastikan arah baru tata kelola desa benar-benar mengembalikan martabat desa sebagai kekuatan utama pembangunan nasional,” ujarnya.
Pertemuan ini menandai momentum penting dalam perjuangan desa untuk mempertahankan kemandirian fiskal dan otonomi pembangunan. Sikap tegas APDESI dan Desa Bersatu menunjukkan bahwa pemerintah desa di seluruh Indonesia menuntut ruang yang lebih luas untuk menentukan nasibnya sendiri—tanpa dibebani risiko program pusat yang belum tentu sejalan dengan kebutuhan masyarakat lokal.
Bagikan:

Desa Bulu Bonggu
Kecamatan Dapurang
Kabupaten Pasangkayu
Provinsi Sulawesi Barat
© 2025 Powered by PT Digital Desa Indonesia
Pengaduan
0
Kunjungan
Hari Ini